Bicara Persoalan Pendidikan , Bicara Soal Bangsa adalah Tugas Kita Bersama Untuk Memajukannya Ke Arah Yang Lebih Baik
Pada proses perkembangannya , selama ribuan tahun manusia telah
begitu banyak menempuh berbagai upaya untuk mewariskan pengetahuan dan
keterampilan kepada generasi berikutnya . Seiring pembaharuan dan perkembangan
zaman , dimana pengetahuan dan
keterampilan yang harus dipelajari bertambah
dan berkembang semakin kompleks , berbagai implikasi turut mengikuti
sebagai bentuk kekuatan pengaruh manusia terhadap semua aspek yang ada dari
permsalahan yang sesederhana mengenai mencari makna dari sebuah eksistensi
hingga berkembangnya teknologi informasi .
Dengan proses perkembangan ini, satu per satu sektor permasalahan
muncul sebagai bentuk pemekaran dari kompleksitas. Hingga akhirnya saat ini,
ketika kita semua mencoba melihat permasalahan di Indonesia, yang terlihat
bagikan adalah berbagai kotak-kotak sektor yang seakan memiliki masalahnya
sendiri secara terpisahpisah. Walaupun begitu, betapapun banyak pendapat yang
masing-masing merujuk pada salah satu sektor sebagai yang terpenting dalam
permasalahan yang dihadapi suatu bangsa dalam konsep luasnya di masa depan
sangat bergantung pada kontribusinya pada apa yang kita kenal dengan
pendidikan.
Sehingga betapa besarnya permasalahan yang ada pada suatu bangsa,
sebenarnya dalam jangka panjang dapat kita lihat bersumber dari satu
permasalahan, yakni pendidikan. Ideal nya pendidikan seharusnya merupakan
gambaran kondisi masyarakat seperti halnya yang pernah diungkapkan Nicolas Hans
(1948) bahwa “pendidikan adalah watak nasional suatu bangsa “ bahkan dalam
kelakarnya dia berkata ceritakan sekolah mu maka akan dapat kuceritakan keadaan
masyarakat dan negaramu ” .Pandangan tersebut menunjukan bahwa nilai – nilai
pendidikan bukan saja hanya sekedar etika dalam arti baik atau tidak baik ,
namun ilmu pengetahuan dan teknologi seharusnya dapat membimbing manusia untuk
mempunyai tujuan . Tujuan dari pendidikan itu hanya ada jika pendidikan itu
sendiri menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat masa kini
dan masa mendatang atau bagi kehidupan di dunia sampai ke akhirat. Pendidikan
akan melahirkan lapisan masyarakat terdidik itu menjadi kekuatan perekat yang
menautkan unit- unit sosial di dalam masyarakat , dan organisasi sosial yang
kemudian menjelma dalam bentuk organisasi besar berupa lembaga negara . Dengan
demikian pendidikan dapat memberikan sumbangan penting pada upaya memantapkan
integrasi sosial untuk mewujudkan integrasi nasional. Pendidikan juga dapat
menjadi instrumen untuk memupuk kepribadian bangsa , memperkuat identitas
nasional dan memantapkan jati diri bangsa . Bahkan pendidikan jauh lebih
penting ketika arus globalisasi semakin kuat yang membawa nilai – nilai dan
budaya yang sering kali bertentangan dengan nilai – nilai dan kepribadian
bangsa Indonesia pendidikan dapat menjadi wahana strategis untuk membangun
kesadaran kolektif sebagai warga mengkukuhkan ikatan- ikatan sosial dengan
tetap menghargai keberagaman budaya , ras , suku bangsa , dan agama sehingga
dapat memantapkan keutuhan nasional .
Sepanjang sejarahnya, di
seluruh dunia ini,
pendidikan pada hakekatnya memiliki dua
tujuan, yaitu membantu
manusia untuk menjadi
cerdas dan pintar (smart), dan
membantu mereka menjadi
manusia yang baik (good). Menjadikan manusia cerdas
dan pintar, boleh
jadi mudah melakukannya,
tetapi menjadikan manusia
agar menjadi orang
yang baik dan
bijak, tampaknya jauh
lebih sulit atau bahkan sangat
sulit. Dengan demikian,
sangat wajar apabila
dikatakan bahwa problem moral
merupakan persoalan akut
atau penyakit kronis
yang mengiringi kehidupan manusia
kapan dan di mana pun.
Kenyataan tentang akutnya
problem moral inilah
yang kemudian menempatkan
pentingnya penyelengaraan pendidikan karakter. Rujukan kita
sebagai orang yang beragama (Islam misalnya) terkait dengan problem
moral dan pentingnya pendidikan karakter
dapat dilihat dari
kasus moral yang
pernah menimpa kedua putera
Nabi Adam a.s.
(Syariati, 1996: 34).
Perilaku Qabil dan
Habil dalam menyedekahkan hartanya,
sikap dengki Qabil
terhadap Habil yang
berujung pada kasus pembunuhan,
dan juga banyaknya
Nabi dan Rasul
yang diturunkan Allah kepada
umat manusia, menunjukkan
akutnya problem moral
ini. Nabi Muhammad saw
bahkan diutus ke dunia ini
oleh Allah swt semata-mata untuk menyempurnaan akhlak manusia.Menurunnya
kualitas moral dalam kehidupan manusia
Indonesia dewasa ini, terutama
di kalangan siswa,
menuntut deselenggarakannya pendidikan
karakter. Sekolah dituntut untuk memainkan peran dan tanggungjawabnya untuk menanamkan dan mengembangkan
nilai-nilai yang baik
dan membantu para
siswa membentukdan
membangun karakter mereka dengan
nilai-nilai yang baik. Pendidikan karakter diarahkan untuk
memberikan tekanan pada nilai-nilai tertentu seperti rasa hormat,
tanggungjawab, jujur, peduli,
dan adil , embantu siswa untuk memahami,
memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan mereka
sendiri.
Kegagalan pendidikan dalam membangun karakter bangsa disebabkan
banyak faktor. Karena ada
banyak komponen dalam
pendidikan seperti pendidik,
peserta didik, kurikulum, sarana prasarana maupun komitmen pemerintah
untuk memajukan pendidikan nasional. Keseriusan pemerintah harus dibuktikan
dengan aksi nyata yaitu dengan memberikan angaran pendidikan yang memadai,
meningkatkan kesejateraan pendidik
serta memberikan pengelolaan
pendidikan kepada yang
ahli dibidangnya dalam artian
pendidikan jangan dijadikan
sebagai komuditas kepentingan
politik. Selain dari itu
pendidik (guru) juga
harus memiliki komitmen
yang tinggi dalam membangun mentalitas dan sumber daya
manusia (SDM) Indonesia, pendidik harus sadar bahwa
mereka memiliki peran
yang sangat strategis
dalam pembentukan dan
pembangaunan generasi penerus bangsa.
Bonus Demografi tahun 2045 merupakan aset yang sangat potensial
yang dimiliki oleh bangsa ini , hadiah terindah yang Allah berikan pada
Indonesia diusia 100 tahun setelah mengecap manisnya kemerdekan. Bonus
demografi merupakan ketersediaan penduduk usia produktif lebih banyak
dibandingkan dengan usia lanjut yang dimiliki suatu negara , berlimpahnya
sumber daya manusia usia produktif ini sejatinya harus dimanfaatkan dengan baik
oleh Indonesia agar manisnya bonus demografi dapat dirasakan . Kelak yang akan menjadi
pemimpin masa depan adalah pemuda saat ini yang masih berusia sekolah menengah
hingga universitas , maka dari itu seharusnya Indonesia mempersiapkan ledakan
penduduk ditahun 2045 dengan cara memperbaiki kualitas pendidikan tidak hanya
mencetak generasi yang cerdas akan tetapi mampu melahirkan tunas bangsa yang
berkarakter dan mempunyai kepribadian atau jatidiri sebagai bangsa Indonesia .
Bung Hatta pernah berujar bahwa ‘Seseorang boleh jadi jenius atau berbakat ,
tetapi tidak mempunyai karakter artinya sama dengan tidak mempunyai kemauan
untuk membela bangsanya ’. Karakter tidak diwariskan secara genetik , ia
tidak pula muncul dengan sendirinya seperti kepribadian . Karakter harus
dibangun melalui sebuah proses dan sejatinya pendidikan adalah proses itu . Apabila
proses itu berjalan dengan baik , menghasilkan output yang baik , maka dapat
dipastikan Indonesia akan menjadi negara maju didunia sejajar dengan Amerika , Jepang , Jerman , dan negara maju
lainnya . Akan tetapi hal yang sebaliknya bisa terjadi apabila pendidikan
sebagai proses transformasi dan transmisi nilai tak berfungsi sebagaimana
mestinya maka nantikan lah kapan negara itu akan hancur .
Sayangnya pendidikan kita
belum mampu membangun karakter
bangsa. Praksis pendidikan yang terjadi
di kelas-kelas tidak lebih dari
latihan-latihan skolastik, seperti
mengenal, membandingkan, melatih,
dan menghapal, yakni kemampuan kognitif yang sangat sederhana, di tingkat paling rendah (Winarno
Surachmad, dkk.: 2003: 114). Secara
lebih ekstrim Helena
Asri Sinawang (2008),
mengatakan bahwa
kecenderungan yang muncul,
pendidikan dipersempit menjadi
"persekolahan" yang
kemudian dipersempit lagi
dengan
"pengajaran".
Selanjutnya
"pengajaran"
dipersempit kembali dengan
"pengajaran di ruang kelas" dan semakin sempit menjadi
penyampaian materi kurikulum yang hanya berorientasi pada pencapaian target
sempit ujian nasional (UN).
Penyempitan seperti ini
hanya mengarah pada
aspek kognitif dan
intelektual. Sedangkan unsur fundamental yang berakar pada nilai moral
dari pendidikan itu sendiri terlupakan.
Akibatnya pendidikan hanya
menghasilkan manusia yang
skolastik dan pandai secara
intelektual namun kurang memiliki karakter utuh sebagai pribadi.
Pendidikan yang
dalam UU No. 20 Tahun
2003 tentang SISDIKNAS
bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga
negara yang demokratis
serta bertanggung jawab
(pasal 3). Hanya dalam kenyatan, justru banyak
warga negara yang tidak berakhlak mulia
(sejenis korupsi, penyalahgunaan narkoba, dan kekerasan), kurang mandiri
(konsumtif), tidak bertanggung jawab, dan kasus lain yang justru bertentangan
dengan tujuan pendidikan nasional.
Apa yang salah dengan pendidikan
sehingga setelah lebih dari tujuh puluh satu tahun indonesia merdeka,
pendidikan nasional belum mampu berfungsi menunjang tumbuhnya
bangsa yang berkarakter?
Selama masalah pendidikan
dibiarkan mengelinding bebas, sehingga siapapun
boleh dan berhak
mengulas masalah pendidikan
dengan versinya masing-masing
tanpa landasan falsafah yang memadai, maka potret pendidikan kita akan semakin
carut-marut. Reorientasi pendidikan dengan
mendorong peran pemerintah
lebih optimal dalam membuat, merumuskan , dan mengevaluasi kurikulum
serta revitalisasi pendidik
merupakan langkah awal
yang harus ditempuh untuk
menjadikan pendidikan sebagai
motor perbaikan dan pembentukan
karakter bangsa.
Wacana pendidikan berbasis karakter akhir - akhir ini santer terdengar kembali setelah marak dan meningkatnya kasus kekerasan terhadap anak , penyalahgunaan narkoba , pergaulan bebas dan kenakalan remaja lainnya yang semakin hari semakin aneh . Karakter secara
etimologis berasal dari bahasa
Yunani (Greek), yaitu charassein yang berarti
“to engrave” (Ryan and
Bohlin, 1999:5). Kata “to engrave”
bisa diterjemahkan mengukir, melukis, memahatkan, atau menggoreskan
(Echols dan Shadily,
1995:214). Dalam Kamus
Bahasa Indonesia kata
“karakter” diartikan dengan tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau
budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, dan watak. Karakter
juga bisa berarti huruf, angka, ruang, simbul khusus yang dapat dimunculkan pada layar dengan
papan ketik (Pusat Bahasa Depdiknas,
2008:682). Selanjutnya Aristoteles mendefiniskan karakter
yang baik sebagai
tingkah laku yang
benar . Tingkah laku yang benar dalam hubungannya dengan
orang lain dan juga dengan diri sendiri. Di pihak lain,
karakter, dalam pandangan
filosof kontemporer seperti
Michael Novak, adalah campuran
atau perpaduan dari
semua kebaikan yang
berasal dari tradisi keagamaan, cerita,
dan pendapat orang
bijak, yang sampai
kepada kita melalui sejarah. Menurut Novak, tak seorang
pun yang memiliki semua kebajikan itu, karena setiap orang
memiliki
kelemahan-kelemahan.
Seseorang dengan karakter
terpuji dapat dibedakan dari yang lainnya (Lickona, 1991: 50).
Pendidikan karakter telah menjadi perhatian berbagai negara dalam
rangka mempersiapkan generasi yang berkualitas, bukan hanya untuk kepentingan
individu warga negara, tetapi juga untuk warga masyarakat secara keseluruhan.
Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai
the deliberate us of all dimensions of school life to foster optimal
character Development (usaha secara sengaja dari seluruh dimensi kehidupan
sosial untuk membantu pembentukan karakter secara optimal). Terminologi
pendidikan karakter mulai dikenalkan sejak tahun 1900-an. Thomas Lickona
dianggap sebagai pengusungnya, terutama ketika ia menulis buku yang berjudul The
Return of Character Education dan kemudian disusul bukunya, Educating
for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility.Melalui
buku-buku itu, ia menyadarkan dunia Barat akan pentingnya pendidikan karakter.
Pendidikan karakter menurut Thomas Lickona mengandung tiga unsur pokok, yaitu
mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring
the good), dan melakukan kebaikan (doing the good).Pendidikan
karakter tidak sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah kepada
anak, tetapi lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation)
tentang yang baik sehingga peserta didik paham, mampu merasakan, dan mau
melakukan yang baik. Jadi, pendidikan karakter ini membawa misi yang sama
dengan pendidikan akhlak atau pendidikan moral. Proses pendidikan karakter,
ataupun pendidikan akhlak dan karakter bangsa sudah tentu harus dipandang
sebagai usaha sadar dan terencana, bukan usaha yang sifatnya terjadi secara
kebetulan. Bahkan kata lain, pendidikan karakter adalah usaha yang
sungguh-sungguh untuk memahami, membentuk, memupuk nilai-nilai etika, baik
untuk diri sendiri maupun untuk semua warga masyarakat atau warga negara secara
keseluruhan. Thomas Lickona menyebutkan tujuh unsur-unsur karakter esensial dan
utama yang harus ditanamkan kepada peserta didik yang meliputi:
1. Ketulusan hati atau kejujuran (honesty).
2. Belas kasih (compassion);
3. Kegagahberanian (courage);
4. Kasih sayang (kindness);
5. Kontrol diri (self-control);
6. Kerja sama (cooperation);
7. Kerja keras (deligence or hard work).
Tujuh karater inti (core characters) inilah, menurut Thomas
Lickona, yang paling penting dan mendasar untuk dikembangan pada peserta didik,
disamping sekian banyak unsur-unsur karakterlainnya. Jika dianalisis dari sudut
kepentingan restorasi kehidupan Bangsa Indonesia ketujuh karakter tersebut
memang benar-benar menjadi unsur-unsur yang sangat esensial dalam mengembangkan
jati diri bangsa melalui pendidikan karakter.
Selain itu, tujuh unsur karakter yang menjadi karakter inti yang
terdapat dalam pendiddikan karakter yang telah dikemukakan oleh Thomas Lickona
, tokoh pendidikan kita (Ki Hadjar
Dewantara) terhadap persoalan pendidikan
karakter menjadi sesuatu yang penting untuk ditelaah. Pandangan Ki
Hadjar Dewantara tentang pendidikan adalah memperhatikan keseimbangan cipta,
rasa, dan karsa tidak hanya sekedar
proses alih ilmu pengetahuan saja atau transfer of
knowledge, tetapi sekaligus
pendidikan juga sebagai proses transformasi nilai (transformation of value). Dengan kata lain pendidikan
adalah proses pembetukan karakter manusia agar menjadi sebenar-benar manusia.
Pandangan Ki Hadjar
Dewantara tentang pendidikan,
menunjukkan kepada kita bahwa jauh hari Ki Hadjar Dewantara
memiliki komitmen yang tinggi untuk membentuk karakter bangsa melalui pendidikan.
Hanya sayangnya pada pekembangannya pendidikan justru kehilangan roh dan
semangatnya, sehingga terjebak pada pencapaian target sempit, sehingga
perwujudan karakter bangsa yang baik menjadi terabaikan.
Ki Hadjar Dewantara :
Pendidikan Karakter melalui Tri Pusat Pendidikan
Dalam proses tumbuh
kembangnya seorang anak,
Ki Hadjar Dewantara memandang adanya
tiga pusat pendidikan
yang memiliki peranan
besar. Semua ini disebut
“Tripusat Pendidikan”. Tripusat
Pendidikan mengakui adanya
pusat-pusat pendidikan
yaitu; 1) Pendidikan
di lingkungan keluarga,
2) Pendidikan di
lingkungan perguruan, dan 3)
Pendidikan di lingkungan kemasyarakatan atau alam pemuda. Tripusat
Pendidikan ini besar pengaruhnya terhadap pembentukan karakter
seseorang.Alam keluarga adalah
pusat pendidikan yang
pertama dan terpenting.
Sejak timbul adab kemanusiaan
hingga kini, hidup
keluarga selalu mempengaruhi bertumbuhnya budi
pekerti atau karakter
dari tiap-tiap manusia.
Alam perguruan merupakan pusat
perguruan yang teristimewa
berkewajiban mengusahakan kecerdasan pikiran (perkembangan intelektual)
beserta pemberian ilmu pengetahuan (balai-wiyata).
Alam kemasyarakatan atau alam pemuda merupakan
kancah pemuda untuk beraktivitas
dan beraktualisasi diri mengembangkan potensi dirinya.
Ki Hadjar Dewantara tidak memandang perguruan atau
sekolah sebagai lembaga
yang memiliki orientasi
mutlak dalam proses pembentukan karakter anak. Justru dia
memandang pendidikan sebagai suatu proses yang melibatkan unsur-unsur
lain di luar
sekolah. Tiap-tiap pusat
harus mengetahui
kewajibannya masing-masing, atau
kewajibannya sendiri-sendiri, dan
mengakui hak pusat-pusat lainnya
yaitu; alam keluarga
untuk mendidik budipekerti
dan laku sosial. Alam
sekolah sebagai balai wiyata bertugas
mencerdaskan cipta, rasa, dan karsa
secara seimbang. Sedangkan alam
pemuda atau masyarakat
untuk melakukan penguasan
diri dalam pembentukan watak atau karakter.Ketiga lingkungan pendidikan
tersebut sangat erat kaitannya satu dengan lainnya,sehingga tidak
bisa dipisah-pisahkan, dan
memerlukan kerjasama yang
sebaik-baiknya, untuk
memperoleh hasil pendidikan
maksimal seperti yang
dicita-citakan. Hubungan
sekolah (perguruan) dengan
rumah anak didik
sangat erat, sehingga
berlangsungnya pendidikan
terhadap anak selalu
dapat diikuti serta
diamati, agar dapat
berjalan sesuai dengan tujuan
yang hendak dicapai.
Pamong sebagai pimpinan
harus bertindak tutwuri handayani, ing madya mangun karsa, dan
ing ngarsa sung tuladha yaitu;
mengikuti dari belakang dan memberi pengaruh, berada di tengah memberi
semangat, berada di depan menjadi teladan.
Selain tripusat pendidikan
Ki Hadjar Dewantara
mengemukakan ajaran Trikon atau Teori Trikon. Teori Trikon
merupakan usaha pembinaan kebudayaan nasional yang mengandung tiga unsur yaitu
kontinuitas, konsentrisitas, dan konvergensi.
a. Dasar Kontinuitas
Dasar kontinuitas berarti
bahwa budaya, kebudayaan atau garis hidup bangsa itu sifatnya continue,
bersambung tak putus-putus.
Dengan perkembangan dan
kemajuan kebudayaan, garis hidup bangsa terus menerima pengaruh
nilai-nilai baru, garis kemajuan suatu
bangsa ditarik terus.
Bukan loncatan terputus-putus dari
garis asalnya. Loncatan putus-putus akan kehilangan
pegangan. Kemajuan suatu bangsa ialah lanjutan dari garis hidup asalnya,
yang ditarik terus
dengan menerima nilai-nilai
baru dari perkembangan sendiri maupun dari luar. Jadi kontinuitas dapat diartikan bahwa dalam mengembangkan dan membina karakter
bangsa harus merupakan kelanjutan dari
budaya sendiri.
b. Dasar Konsentris
Dasar konsentris berarti
bahwa dalam mengembangkan
kebudayaan harus bersikap
terbuka, namun kritis dan selektif terhadap pengaruh kebudayaan di sekitar
kita. Hanya unsur-unsur yang
dapat memperkaya dan
mempertinggi mutu kebudayaan
saja yang dapat diambil
dan diterima, setelah
dicerna dan disesuaikan
dengan kepribadian bangsa. Hal
ini merekomendasikan bahwa
pembentukan karakter harus
berakar pada budaya bangsa,
meskipun tidak tertutup kemungkinan untuk mengakomodir budaya luar yang baik
dan selaras dengan budaya bangsa.
c. Dasar Konvergensi
Dasar konvergensi mempunyai
arti bahwa dalam
membina karakter bangsa, bersama-sama bangsa
lain diusahakan terbinanya
karakter dunia sebagai
kebudayaan kesatuan umat sedunia
(konvergen), tanpa mengorbankan
kepribadian atau identitas bangsa masing-masing. Kekhususan
kebudayaan bangsa Indonesia
tidak harus ditiadakan, demi
membangun kebudayaan dunia. Dari pernyataan di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa dalam mengembangkan karakter
dan membina kebudayaan
bangsa harus merupakan
kelanjutan dari budaya sendiri (kontinuitas) menuju ke arah kesatuan kebudayaan dunia (konvergensi),
dan tetap terus memiliki dan membina
sifat kepribadian di dalam lingkungan kemanusiaan sedunia
(konsentrisitas). Dengan demikian
maka pengaruh terhadap
kebudayaan yang masuk, harus
bersikap terbuka, disertai
sikap selektif sehingga
tidak menghilangkan identitas sendiri .
Asas dan dasar
pendidikan yang digagas
Ki Hadjar Dewantara
merupakan landasan yang kokoh
untuk membangun karakter
bangsa bersendi pada
budaya bangsa dengan tidak mengabaikan
budaya asing. Jika
asas dan dasar
ini digunakan sebagai landasan penyelenggaran pendidikan
kita, maka tidak perlu lagi meributkan tentang carut marut potret pendidikan
kita. Sistem Pendidikan Dalam
pelaksanaan pendidikan, Ki
Hadjar Dewantara menggunakan
“Sistem Among” sebagai perwujudan
konsepsi beliau dalam menempatkan anak sebagai sentral proses pendidikan. Dalam Sistem Among, maka setiap pamong
sebagai pemimpin dalam proses
pendidikan diwajibkan bersikap:
Ing ngarsa sung
tuladha, Ing madya
mangun karsa, dan Tutwuri handayani (MLPTS, 1992: 19-20).
a. Ing Ngarsa Sung Tuladha
Ing ngarsa berarti di depan,
atau orang yang lebih berpengalaman dan atau lebih berpengatahuan. Sedangkan
tuladha berarti memberi
contoh, memberi teladan
(Ki Muchammad Said Reksohadiprodjo, 1989:
47). Jadi ing
ngarsa sung tuladha mengandung makna,
sebagai among atau
pendidik adalah orang
yang lebih berpengetahuan dan
berpengalaman, hendaknya mampu menjadi contoh yang baik atau
dapat dijadikan sebagai “central figure” bagi siswa.
b. Ing Madya Mangun Karsa
Mangun karsa berarti
membina kehendak, kemauan
dan hasrat untuk mengabdikan diri kepada kepentingan
umum, kepada cita-cita yang luhur. Sedangkan ing madya berarti di tengah-tengah, yang berarti dalam
pergaulan dan hubungannya seharihari
secara harmonis dan
terbuka. Jadi ing
madya mangun karsa
mengandung makna bahwa pamong
atau pendidik sebagai
pemimpin hendaknya mampu menumbuhkembangkan minat,
hasrat dan kemauan
anak didik untuk
dapat kreatif dan berkarya, guna mengabdikan diri kepada
cita-cita yang luhur dan ideal.
c. Tutwuri Handayani
Tutwuri berarti mengikuti
dari belakang dengan
penuh perhatian dan
penuh tanggung jawab berdasarkan cinta dan kasih sayang yang bebas dari
pamrih dan jauh dari sifat
authoritative, possessive, protective
dan permissive yang
sewenang-wenang. Sedangkan
handayani berarti memberi
kebebasan, kesempatan dengan
perhatian dan bimbingan yang
memungkinkan anak didik atas inisiatif sendiri dan pengalaman sendiri, supaya
mereka berkembang menurut garis kodrat pribadinya.Sistem pendidikan
yang dikemukakan Ki
Hadjar Dewantara juga
merupakan warisan luhur yang
patut diimplementasikan dalam
perwujudan masyarakat yang berkarakter. Jika
para pendidik sadar
bahwa keteladanan adalah
upaya nyata dalam membentuk anak bangsa yang berkarakter,
semua kita tentu akan terus
mengedepankan keteladanan dalam segala perkataan dan perbuatan. Sebab dengan keteladanan itu maka
karakter religius, jujur,
toleran, disiplin, kerja
keras, cinta damai,
peduli sosial, dan karakter lain tentu akan berkembang
dengan baik.
Begitu pula jika
kita sadar bahwa
berkembangnya karakter peserta
didik memerlukan dorongan dan
arahan pendidik, sebagai
pendidik tentu kita
akan terus berupaya menjadi
motivator yang baik.
Sebab dengan dorongan
dan arahan pendidik maka
karakter kreatif, mandiri,
menghargi prestasi, dan
pemberani peserta didik
akan terbentuk dengan baik. Sementara
itu, ada kalanya
pendidik perlu memberikan
keleluasaan dan atau kebebasan kepada
peserta didik untuk
menentukan pilihannya sendiri.
Hal demikian dimungkinkan dapat
mengembangkan karakter demokratis dan bertangung jawab.
Sungguh beruntung Indonesia memiliki tokoh pendidikan seperti Ki
Hadjar Dewantara yang menegaskan bahwa tugas lembaga pendidikan tidak
sesederhana membuat orang menjadi pintar dan berpengetahuan , tetapi harus
menuntun tumbuhnya budi pekerti dalam kehidupannya agar kelak menjadi manusia
yang memiliki kepribadian , beradab,
dan bersusila. Dalam salah satu pidatonya pada tahun 1949, Ki Hajar menyatakan,
“pendidikan dan pengajaran adalah usaha kebudayaan semata-mata, bahwa perguran
itu adalah taman persemaian benih-benih kebudayaan bagi suatu bangsa”. Sehingga
di sini penjiwaan kebudayaan dalam bentuk wawasan kebangsaan dan penanaman budi
pekerti adalah hal yang harus menjadi prioritas dalam proses pendidikan di
Indonesia.Dalam tugas luhurnya, sangat jelas bahwa pendidikan seharusnya
bersandarkan pada modal sosial yang sangat berpotensi ditumbuhkan di masyarakat
Indonesia. Kekentalan budaya dan nilai-nilai luhur gotong royong yang masih
melekat dalam jiwa bangsa Indonesia menjadikan modal sosial dapat menjadi
senjata utama pengembangan sumberdaya selain modal individu maupun modal
materi. Pendidikan yang ideal memang seharusnya mempertimbangkan perspektif
sosial dalam menjalankan pengembangan manusia yang baik. Bahkan pendidikan pun
sebenarnya tidak secara sempit dipandang dalam bentuk pendidikan formal melalui
sekolah. Maka atas dasar itulah seharusnya Pemerintah kembali membuka catatan
sejarah dan kembali menggunakan falsafah pendidikan kita sebagaimana telah
dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara.
Reorientasi Pendidikan Mengkaji Ulang Kurikulum
Reorientasi pendidikan perlu
segera dilakukan yaitu
dengan melakukan tinjauan atas
pelaksanan pendidikan dan
pembelajaran selama ini,
pendidikan kita berjalan apa
adanya dengan output
seadanya. Sehinga dalam
pembelajaran tidak terjadi internalisaisi ilmu
dalam kehidupan sehari-hari.
Terjadinya parsialisasi ilmu pengetahuan telah
mengakibatkan pendidikan kurang
bermakna, banyak energi
dan waktu yang tebuang
percuma tapi kebermanfaatan dan
kebermaknaan ilmu yang diajarkan tidak
memberikan dampak yang
berarti. Terjadinya pemisahan
apa yang diajarkan di
sekolah dengan realita
kehidupan membuat pendidikan
kita tidak memiliki karakter dan
terkesan paradoks.Untuk itu paradigma
pendidikan tepadu perlu digalakkan
yaitu dengan memadukan antara
teori dan praktek, antara teks dan konteks, selama ini pendidikan kita berlangsung
dikotomi antara teks
dan konteks, antara
teori dan praktek. Pemisahan ini
menyebabkan pemahaman menjadi
parsial dan tepisah-pisah
dan pelajaran hanya di pahami sebatas formalitas saja. Sehingga tidak
ada pengaruh yang berarti ketika orang belajar tentang budi pekerti atau
belajar tentang pancasila. Karena nilai yang diajarkan hanya sebatas normatif saja.
Pengkajian ulang kurikulum agar capaian tujuaan pendidikan dapat
terwujud perlu dilakukan ,kurikulum sendiri berarti perangkat mata pelajaran dan
program pendidikan yang diberikan suatu lembaga penyelenggara pendidikan yang
berisi rancangan pelajaran yang akan diberikan kepada peserta didik dalam satu
periode jenjang pendidikan . Penyusunan perangkat mata pelajaran disesuaikan
dengan keadaan dan kemampuan setiap jenjang pendidikan tersebut. Salah satu
fungsi kurikulum ialah sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan ,
kurikulum memiliki komponen pokok dan komponen penunjang yang saling berkaitan
dan berinteraksi satu sama lainnya dalam rangka mencapai tujuan tersebut .
Menurut Subandiyah (1993: 4-6) mengemukakan ada 5 komponen kurikulum yaitu :
1.
Komponen
tujuan
2.
Komponen
materi/isi
3.
Komponen
media ( sarana dan prasarana )
4.
Komponen
strategi
5.
Komponen
proses belajar mengajar
Perkembangan kurikulum Indonesia hingga saat ini yang berlaku
adalah kurikulum 2013 yang sayangnya dalam pengimplementasiannya masih sangat
jauh dari apa yang diharapkan , setiap kali terjadi perubahan kurikulum pada
hakikatnya menuju ke arah yang lebih baik tetapi karena kurangnya
persiapan implementasinya masih sangat
jauh dari tujuan awal yang telah ditetapkan dalam undang – undang sistem
pendidikan nasional bab II pasal 3 . Teringat
kata Rendra , dalam ‘sajak sebatang lisong’ “ Apakah aritinya
berfikir , bila terpisah dari masalah kehidupan’ . Sajak dari Renda
tersebut cukup mewakili pertanyaan saya mengenai implementasi kurikulum yang
diterapkan di Indonesia , bagaimana tidak pendidikan yang seharusnya proses
dalam memaknai kehidupan dan pemecahan masalah dalam kehidupan menjadi
sesederhana membuat orang menjadi pintar dan berpengetahuan saja .
Sejatinya Pendidikan dibangun atas kesadaran dan pencarian
kebenaran ilmu pengetahuan .Pendidikan
sudah harus mengajarkan
epistimologi ilmu tentang
pelajaran yang diajarkan kepada siswa.
Berkaca pada Kihajar Dewantara , sejatinya pendidikan mampu menumbuh kembangkan karakter dalam
hidup Sang Anak (anak didik) supaya mereka kelak menjadi manusia berpribadi
yang beradab dan susila.Kecerdasan memang diperlukan segenap anak didik, tetapi
karakter lebih diperlukan. Kecerdasan tanpa diimbangi karakter justru akan
menjerumuskan kehidupan anak didik itu sendiri.Dalam konteks pengembangan
kurikulum, maka substansi pendidikan karakter bersifat mutlak. Permasalahannya,
apakah pendidikan karakter harus menjadi mata pelajaran? Dalam hal ini Ki
Hadjar bersikap bijak dengan menyatakan pendidikan karakter itu wajib diberikan
kepada anak meskipun tidak harus menjadi mata pelajaran tersendiri. Ini berarti
pendidikan karakter bisa menjadi mata pelajaran tersendiri, tetapi bisa juga
terintegrasi pada mata pelajaran lain.
Bagaimana cara menyampaikan pendidikan karakter? Menurut Ki Hadjar
ada empat tingkatan, yakni syari’at, hakikat, tarikat, dan makrifat.Tingkat
syari’at cocok diberikan kepada anak yang sangat muda, dalam hal ini anak TK.
Metodenya dengan membiasakan berperilaku baik menurut ukuran umum, misalnya
mengucapkan salam ketika bertemu teman, memberikan hormat ketika bertemu guru,
dan mencium tangan ketika berhadapan dengan orangtua.Tingkat hakikat cocok
diberikan kepada murid SD. Anak dibiasakan berperilaku baik menurut ukuran
umum, dalam waktu bersamaan diberi pengertian mengapa harus berbuat
demikian.Contohnya, di samping dibiasakan mengucapkan salam sewaktu bertemu
teman, mereka juga diberi pengertian tentang pentingnya mengucap salam itu;
misalnya dapat menimbulkan ikatan hati dan keakraban lahir-batin antarteman.Tingkat
tarikat cocok diberikan kepada siswa SMP. Siswa dibiasakan berperilaku baik,
diberi pengertian pentingnya hal itu dilakukan; bersamaan waktunya disertai
aktivitas pendukung yang cocok.Misalnya bagaimana anak-anak tersebut
berkesenian, berolah puisi, berolahraga, dan bersastraria sambil berolah budi.
Contohnya adalah anak-anak SMP dilatih menari ”halus” sambil dijelaskan makna
gerakan yang ada di dalamnya untuk menanamkan karakter. Tingkat makrifat cocok
diberikan kepada siswa SMA. Anak disentuh pemahaman dan kesadarannya sehingga
berperilaku baik bukan sekadar kebiasaan, melainkan berkesadaran di lubuk
hatinya untuk melakukan hal tersebut. Sang anak mengerti maksud berperilaku
baik; dan perilakunya tersebut dijalankan berdasarkan kesadaran diri.
Pendidikan sudah harus
mengajarkan epistimologi ilmu
tentang pelajaran yang diajarkan
kepada siswa .Krisis kebenaran ilmu dan disfungsi ilmu tidak terjadai, orang
harusnya tahu kenapa di harus belajar pancasila dan cara penerapannya, kenapa
harus belajar biologi
dan implementasinya. Pendidikan
harus menjadi proses konsientisasi (penyadaran)
dan sebagai praktek
pemerdekaan. Dalam proses konsientasi pendidikan
tidak saja diarahkan
pada realitas obyektif
dan aktual, akan tetapi juga pada proses penyadaran akan
dirinya sebagai manusia yang memiliki jati diri/ karakter.
Pendidikan yang tidak
diarahkan pada dua
kesadaran ini, sebenarnya telah menempatkan pendidikan
sebagai proses penindasan dan praktek pemerkosaan terhadap hak-hak
hidup yang manusiawi.
Dan akibat lebih
lanjut pendidikan akan membawa peserta didik hanya untuk hidup
dan tidak membawa kepada the process of being/ becoming.
Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh sumber daya manusia
yang dihasilkan dari sebuah proses pendidikan dan pembelajaran bermutu yang
diselenggarakan oleh guru profesional dan bermartabat . Guru tidak hanya
berperan sebagai pengajar semata, akan tetapi guru harusnya menjadi seoarng
pendidik yang memastikan nilai dan norma ada pada setiap peserta didik .
Guru yang merupakan produk dari sebuah lembaga pendidikan guru atau
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK)
yang saat ini berjumlah 419 LPTK dengan rincian 39 LPTK negeri ,dan 380
LPTK swasta .
Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005
Tentang Guru Dan Dosen pasal 1 ayat 1 yang dimaksud dengan guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini
jalur pendidikan formal, pendidikan dasar,dan pendidikan menengah.
Dari definisi tersebut diketahui bahwa guru merupakan suatu profesi
sama halnya seperti dokter , maka guru harus profesional dalam menjalankan
profesinya . Profesionalisme dalam profesi guru sesuai dengan UU No 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen pasal 1 ayat 4 yaitu Profesional adalah pekerjaan
atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan
kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi
standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Akan
tetapi profesi guru di Indonesia masih dipandang sebagai profesi suka rela ,
artinya banyak dari mereka yang memilih menjadi guru merupakan pilihan kedua
setelah pilihan pertamanya tidak diraih , setengah hati menjadi seorang guru
mengakibatkan kurangnya profesionalisme guru tersebut , selain itu kurangnya
perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan guru menjadikan guru mengajar /
mendidik seikhlasnya , seharusnya pemerintah menganggap sama tingginya derajat
seorang guru dengan seorang dokter , apabila guru terjamin kesejahteraannya
dapat dipastikan akan mendorong tingkat profesionalisme guru tersebut ,
sehingga guru merasa mempunyai tanggung jawab yang tinggi dalam menjalankan
tugasnya sebagai tenaga pendidik sehingga dapat mencapai tujuan nasional
menghasilkan peserta didik yang tidak hanya cerdas dan berpengetahuan tetapi
juga memiliki karakter yang baik .
Selain revitalisasi pendidik setelah pendidik tersebut menjadi
seorang profesional atau guru , harus ditinjau kembali mengenai peran strategi
pendidikan guru , yakni sebagai lembaga pendidikan prajabatan menghasilan guru
yang berkualitas ( kualifikasi , kompetensi , berkarakter kuat dan berjiwa
pendidik) . Namun pada kenyataannya kehadiran lebih dari 400 LPTK di Indonesia
belum mampu menyelesaikan permasalahan guru yang kompleks , perbaikan disana
sini perlu dilakukan , baik itu ketika masih menjadi calon guru hingga sudah
ditetapkannya menjadi seorang guru , banyak guru – guru kita yang belum
memenuhi standar kualifikasi seperti kurang menguasai konten yang mengakibatkan
tidak profesional , gagal menjadi fasilitator dalam transfer ilmu dan menerapkan
karakter pada peserta didik . Dari hulu hingga hilir banyak yang harus dibenahi
untuk menjadikan guru Indonesia profesional , melalui perbaikan seleksi calon
mahasiswa kependidikan dan pendidikan profesi guru dengan mengadakan tes bakat
, tes watak dan kepribadian ,secara terus menerus memperbaiki pendidikan di PPG
terutama proses pembinaan. Diharapkan
LPTK dapat menghasilkan guru yang profesional dan berkompeten sesuai dengan
pasal 7 dalam UU No.14 tentang Guru dan Dosen , yaitu Profesi guru dan profesi dosen merupakan
bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut:
a. memiliki bakat, minat,
panggilan jiwa, dan idealisme;
b. memiliki komitmen untuk
meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia;
c. memiliki kualifikasi
akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas;
d. memiliki kompetensi yang
diperlukan sesuai denganbidang tugas;
e. memiliki tanggung jawab
atas pelaksanaan tugas keprofesionalan;
f. memperoleh penghasilan
yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja;
g. memiliki kesempatan untuk
mengembangkan keprofesionalan secara
berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat;
h. memiliki jaminan
perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan
i. memiliki organisasi
profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas
keprofesionalan guru.
Apabila guru ataupun tenaga kependidikan telah memenuhi kualifikasi
sebagai profesi yang profesional dan berkompeten , maka dapat dipastikan bahwa
tujuan pendidikan nasional dapat dicapai
, perlu adanya sinergisitas antara
pemerintah selaku pemangku kebijakan dengan semua elemen yang berkaitan dengan
pendidikan yaitu guru atau tenaga pendidik , dan masyarakat dalam menciptakan
iklim yang kondusif demi tercapainya tujuan pendidikan nasional .
Tujuan pendidikan
nasional yang terungkap
dalam Undang-Undang No
20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional bab II pasal 3 sebagai berikut :"Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,berakhlak
mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri
dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.
Ilmu yang diajarkan hanya sebatas teori tanpa aplikasi hanyalah
pengetahuaan yang sebatas mimpi. Pelajaran yang dipahamai sebatas teks hanyalah
sebua euforia. , pendidikan pada hakekatnya memiliki dua
tujuan, yaitu membantu
manusia untuk menjadi
cerdas dan pintar (smart), dan
membantu mereka menjadi
manusia yang baik
(good). Menjadikan manusia cerdas
dan pintar, boleh
jadi mudah melakukannya,
tetapi menjadikan manusia
agar menjadi orang
yang baik dan
bijak, tampaknya jauh
lebih sulit atau bahkan sangat
sulit.
Pembangunan karakter
bangsa memang harus
dimulai dari membangun
individu masyarakat
Indonesia secara berkesinambungan dan
terus-menerus, membangun karakter
tidak bisa dilakukan secara
cepat dan instan.
Pendidikan menjadi motor
dalam upaya perbaikan dan
pembentukan mental karakter bangsa yang sesungguhnya, Menelaah konsep dan
penerapan kembali pendidikan karakter dalam pendidikan Indonesia , reorientasi
pendidikan mendorong peran pemerintah
lebih optimal dalam membuat, merumuskan , dan mengevaluasi kurikulum
serta revitalisasi pendidik
merupakan langkah awal
yang harus ditempuh untuk
menjadikan pendidikan sebagai
motor perbaikan dan pembentukan
karakter bangsa. Jika itu dapat dilaksanakan pendidikan akan
mampu membangun karakter kebangsaan.
Selamat hari Guru Nasional , Semoga Guru Indonesia semakin profesional dan sejahtera , bila belum biar Allah yang membalas pahala dari bapak dan ibu guru 😊
Mengenai gerakan "ayo menghormati guru" saya sangat setuju sekali ini sebuah bentuk kita kembali pada karakter kita , karakter bangsa kita
--Presiden Joko Widodo--
Peringatan Hari Guru Nasional Hendaknya menjadi momentum membulatkan tekad kita bersama meningkatkan penghargaan kepada pahlawan tanpa tanda jasa ini untuk secepatnya menyelesaikan pendidikan kita yang masih belum selesai ini
--Wardiman Djojonegoro Mendikbud tahun 1993-1998 --
Orang yang paling saya hormati setelah ibu dan ayah adalah guru , karena guru maka saya menjadi orang yang berguna bagi masyarakat dan orang lain
--Yahya A.Muhaimin Mendiknas 1999-2001--
Ini hanya catatan kecil tentang euporia hari guru nasional yang diperingati setiap tanggal 25 November yang biasanya dipagi hari buta para guru PNS dan Honorer merayakan dengan suka cita dibawah tiang bendera sambil mengangkatkan tangan dengan bangga hormat pada sangsaka merah putih , sambil mengenang perjuangan mereka selama bertahun - tahun , bahkan berpuluh - puluh tahun mengabdikan diri kepada ibu pertiwi dengan cara yang sangat mulia , mencerdaskan kehidupan bangsa . Teringat kata - kata bijak dari Anies Baswedan bahwa "Mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik " , sebagai orang terdidik yang mempunyai kesempatan yang lebih untuk menuntut ilmu hingga jenjang yang lebih tinggi , seharusnya tidak menutup mata dengan problematika klasik ini , mari mengambil posisi turut aksi dalam memajukan pendidikan Republik Indonesia tercinta ini , bukankah Allah telah memerintahkan kepada kita , sampaikanlah walau satu ayat , ya sedikit banyak ilmu yang dimiliki bila diamalkan akan terasa manfatnya , tidak hanya bagi orang lain , bagi diri sendiri pun banyak kebaikan yang akan kita dapatkan , tak hanya kebaikan di dunia akan tetapi ilmu yang bermanfaat akan menjadi tabungan pahala kita hingga akhirat , Allah meninggikan beberapa derajat bagi orang yang beriman dan memiliki ilmu dari pada manusia yang lainnya .
Tulisan ini bukan murni lahir dari pemikiran sendiri , apalah daya saya yang masih ummi ini , banyak kutip tulisan orang lain disana-sini , copy paste dan edit modifikasi sana sini , mungkin baru itu yang bisa saya lakukan dalam proses menulis ini , mungkin ini akibat dari malasnya diri untuk mengkaji , membaca dan mentadaburi sebuah buku . Biarlah saya melewati fase memalukan ini , yang terpenting saya mau belajar , memulai kebiasaan baru , yaitu menulis , karena menurut Gumira Ajidarma menulis adalah suatu cara untuk berbicara , suatu cara untuk berkata , suatu cara untuk menyapa , suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah dimana.
Referensi
Asshiddiqie Jimly.2011 . Hijrah Menuju Kebangunan Watak Bangsa
, Medan : Ikatan Cendekiawan Muslim SeIndonesia (ICMI).
Darmiyati Zuchdi (ed.).
2011. Pendidikan Karakter
dalam Perspektif Teori
dan Praktik. Yogyakarta: UNY Press.
Haryanto.2011 . Pendidikan Karakter Menurut Ki Hadjar Dewantara,
Yogyakarta : Kurikulum dan Teknologi Pendidikan FIP UNY.
Kompas, Penghentian
Kurikulum Tak Boleh Bertahap ,
Minggu 7 Desember 2014.
Kompas, Kurikulum Versi
Ki Hadjar , Senin 5 Januari 2015.
Lickona, Thomas. 1991. Educating for
Character: How Our
School Can Teach Respect and Responsibility. New
York: Bantam Books.2004.
Marzuki. 2009. Prinsip
Dasar Akhlak Mulia:
Pengantar Studi Konsep-Konsep
Dasar Etika dalam Islam. Yogyakarta: Debut Wahana Press-FISE UNY.
Sudrajat Ajat . 2011 . Mengapa
Pendidikan Karakter ? , Yogyakarta :
FIS UNY.
Setiawan Deny.2010.Peran Pendidikan Karakter Dalam Mengembangkan
Kecerdasan Moral. Medan : FIS Universitas Negeri Medan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru
Dan Dosen.
Zubaedi. 2011. Desain
Pendidikan Karakter Konsepsi dan
Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Atika Almira .2015. #Bicara
Pendidikan : Karakter Anak Bangsa Gagal Dibentuk . http:// Facebook.com/Note/Atika
Almira.Bicara-Pendidikan-Karakter-Anak-Bangsa-Gagal-di-Bentuk. Diunduh 21 April
2016.
Katresna72, “Grand Design
Pendidikan Karakter”
dalam Katresna72. Wordpress.com, Dipublikasikan 23 Oktober
2010, http://katresna 72.wordpress.-com/2010/10/23 rand-design-pendidikan-karakter/.
Helena Asri Sinawang.
2008. Guru dan
Watak Bangsa, dari http://www.keyanaku.blogspot.com.
Diunduh 21 April 2016.
Aditya. Penindasan Pendidikan 3 . Facebook.com . Dipublikasikan 2 Mei 2016.https://www.facebook.com/notes/aditya-finiarel-phoenix/penindasan-pendidikan-3/10153955009961355n
Tidak ada komentar: