Bicara Persoalan Pendidikan , Bicara Soal Bangsa adalah Tugas Kita Bersama Untuk Memajukannya Ke Arah Yang Lebih Baik




MEMBANGUN KARAKTER BANGSA MELALUI PENDIDIKAN

Pada proses perkembangannya , selama ribuan tahun manusia telah begitu banyak menempuh berbagai upaya untuk mewariskan pengetahuan dan keterampilan kepada generasi berikutnya . Seiring pembaharuan dan perkembangan zaman , dimana  pengetahuan dan keterampilan yang harus dipelajari bertambah  dan berkembang semakin kompleks , berbagai implikasi turut mengikuti sebagai bentuk kekuatan pengaruh manusia terhadap semua aspek yang ada dari permsalahan yang sesederhana mengenai mencari makna dari sebuah eksistensi hingga berkembangnya teknologi informasi .
Dengan proses perkembangan ini, satu per satu sektor permasalahan muncul sebagai bentuk pemekaran dari kompleksitas. Hingga akhirnya saat ini, ketika kita semua mencoba melihat permasalahan di Indonesia, yang terlihat bagikan adalah berbagai kotak-kotak sektor yang seakan memiliki masalahnya sendiri secara terpisahpisah. Walaupun begitu, betapapun banyak pendapat yang masing-masing merujuk pada salah satu sektor sebagai yang terpenting dalam permasalahan yang dihadapi suatu bangsa dalam konsep luasnya di masa depan sangat bergantung pada kontribusinya pada apa yang kita kenal dengan pendidikan.
Sehingga betapa besarnya permasalahan yang ada pada suatu bangsa, sebenarnya dalam jangka panjang dapat kita lihat bersumber dari satu permasalahan, yakni pendidikan. Ideal nya pendidikan seharusnya merupakan gambaran kondisi masyarakat seperti halnya yang pernah diungkapkan Nicolas Hans (1948) bahwa “pendidikan adalah watak nasional suatu bangsa “ bahkan dalam kelakarnya dia berkata ceritakan sekolah mu maka akan dapat kuceritakan keadaan masyarakat dan negaramu ” .Pandangan tersebut menunjukan bahwa nilai – nilai pendidikan bukan saja hanya sekedar etika dalam arti baik atau tidak baik , namun ilmu pengetahuan dan teknologi seharusnya dapat membimbing manusia untuk mempunyai tujuan . Tujuan dari pendidikan itu hanya ada jika pendidikan itu sendiri menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat masa kini dan masa mendatang atau bagi kehidupan di dunia sampai ke akhirat. Pendidikan akan melahirkan lapisan masyarakat terdidik itu menjadi kekuatan perekat yang menautkan unit- unit sosial di dalam masyarakat , dan organisasi sosial yang kemudian menjelma dalam bentuk organisasi besar berupa lembaga negara . Dengan demikian pendidikan dapat memberikan sumbangan penting pada upaya memantapkan integrasi sosial untuk mewujudkan integrasi nasional. Pendidikan juga dapat menjadi instrumen untuk memupuk kepribadian bangsa , memperkuat identitas nasional dan memantapkan jati diri bangsa . Bahkan pendidikan jauh lebih penting ketika arus globalisasi semakin kuat yang membawa nilai – nilai dan budaya yang sering kali bertentangan dengan nilai – nilai dan kepribadian bangsa Indonesia pendidikan dapat menjadi wahana strategis untuk membangun kesadaran kolektif sebagai warga mengkukuhkan ikatan- ikatan sosial dengan tetap menghargai keberagaman budaya , ras , suku bangsa , dan agama sehingga dapat memantapkan keutuhan nasional .

Sepanjang  sejarahnya,  di  seluruh  dunia  ini,  pendidikan  pada  hakekatnya memiliki  dua  tujuan,  yaitu  membantu  manusia  untuk  menjadi  cerdas  dan  pintar (smart),  dan  membantu  mereka  menjadi  manusia  yang  baik  (good).  Menjadikan manusia  cerdas  dan  pintar,  boleh  jadi  mudah  melakukannya,  tetapi  menjadikan  manusia  agar  menjadi  orang  yang  baik  dan  bijak,  tampaknya  jauh  lebih  sulit atau bahkan  sangat  sulit.  Dengan  demikian,  sangat  wajar  apabila  dikatakan  bahwa problem  moral  merupakan  persoalan  akut  atau  penyakit  kronis  yang  mengiringi kehidupan manusia kapan dan di mana pun.
Kenyataan  tentang  akutnya  problem  moral  inilah  yang  kemudian menempatkan pentingnya  penyelengaraan  pendidikan karakter.  Rujukan kita  sebagai orang yang beragama (Islam misalnya) terkait dengan problem moral  dan pentingnya pendidikan  karakter  dapat  dilihat  dari  kasus  moral  yang  pernah  menimpa  kedua putera  Nabi  Adam  a.s.  (Syariati,  1996:  34).  Perilaku  Qabil  dan  Habil   dalam menyedekahkan  hartanya,  sikap  dengki  Qabil  terhadap  Habil  yang  berujung  pada kasus  pembunuhan,  dan  juga  banyaknya  Nabi  dan  Rasul  yang  diturunkan  Allah kepada  umat  manusia,  menunjukkan  akutnya  problem  moral  ini.  Nabi  Muhammad saw  bahkan  diutus  ke dunia ini  oleh Allah  swt semata-mata  untuk menyempurnaan akhlak manusia.Menurunnya kualitas moral dalam kehidupan manusia  Indonesia dewasa ini, terutama  di  kalangan  siswa,  menuntut  deselenggarakannya  pendidikan  karakter. Sekolah dituntut untuk memainkan peran dan  tanggungjawabnya  untuk menanamkan dan  mengembangkan  nilai-nilai  yang  baik  dan  membantu  para  siswa    membentukdan membangun  karakter mereka dengan nilai-nilai  yang baik.  Pendidikan karakter diarahkan untuk memberikan tekanan pada nilai-nilai tertentu seperti rasa hormat, tanggungjawab,  jujur,  peduli,  dan  adil , embantu  siswa  untuk  memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan mereka sendiri.
Kegagalan pendidikan dalam membangun karakter bangsa disebabkan banyak faktor.  Karena  ada  banyak  komponen  dalam  pendidikan  seperti  pendidik,  peserta didik, kurikulum, sarana prasarana maupun komitmen pemerintah untuk memajukan pendidikan nasional. Keseriusan pemerintah harus dibuktikan dengan aksi nyata yaitu dengan memberikan angaran pendidikan  yang memadai,  meningkatkan kesejateraan pendidik  serta  memberikan  pengelolaan  pendidikan  kepada  yang  ahli  dibidangnya dalam  artian  pendidikan  jangan  dijadikan  sebagai  komuditas  kepentingan  politik. Selain  dari  itu  pendidik  (guru)  juga  harus  memiliki  komitmen  yang  tinggi  dalam membangun mentalitas dan sumber daya manusia (SDM)  Indonesia,  pendidik harus sadar  bahwa  mereka  memiliki  peran  yang  sangat  strategis  dalam  pembentukan dan pembangaunan generasi penerus bangsa.
Bonus Demografi tahun 2045 merupakan aset yang sangat potensial yang dimiliki oleh bangsa ini , hadiah terindah yang Allah berikan pada Indonesia diusia 100 tahun setelah mengecap manisnya kemerdekan. Bonus demografi merupakan ketersediaan penduduk usia produktif lebih banyak dibandingkan dengan usia lanjut yang dimiliki suatu negara , berlimpahnya sumber daya manusia usia produktif ini sejatinya harus dimanfaatkan dengan baik oleh Indonesia agar manisnya bonus demografi dapat dirasakan . Kelak yang akan menjadi pemimpin masa depan adalah pemuda saat ini yang masih berusia sekolah menengah hingga universitas , maka dari itu seharusnya Indonesia mempersiapkan ledakan penduduk ditahun 2045 dengan cara memperbaiki kualitas pendidikan tidak hanya mencetak generasi yang cerdas akan tetapi mampu melahirkan tunas bangsa yang berkarakter dan mempunyai kepribadian atau jatidiri sebagai bangsa Indonesia . Bung Hatta pernah berujar bahwa ‘Seseorang boleh jadi jenius atau berbakat , tetapi tidak mempunyai karakter artinya sama dengan tidak mempunyai kemauan untuk membela bangsanya ’. Karakter tidak diwariskan secara genetik , ia tidak pula muncul dengan sendirinya seperti kepribadian . Karakter harus dibangun melalui sebuah proses dan sejatinya pendidikan adalah proses itu . Apabila proses itu berjalan dengan baik , menghasilkan output yang baik , maka dapat dipastikan Indonesia akan menjadi negara maju didunia sejajar dengan  Amerika , Jepang , Jerman , dan negara maju lainnya . Akan tetapi hal yang sebaliknya bisa terjadi apabila pendidikan sebagai proses transformasi dan transmisi nilai tak berfungsi sebagaimana mestinya maka nantikan lah kapan negara itu akan hancur .
Sayangnya pendidikan  kita  belum  mampu membangun karakter bangsa.  Praksis pendidikan  yang terjadi  di kelas-kelas tidak lebih dari  latihan-latihan  skolastik,  seperti  mengenal,  membandingkan,  melatih,  dan menghapal, yakni kemampuan kognitif yang sangat  sederhana, di tingkat paling rendah (Winarno Surachmad, dkk.: 2003: 114). Secara  lebih  ekstrim  Helena  Asri  Sinawang  (2008),  mengatakan  bahwa kecenderungan  yang  muncul,  pendidikan  dipersempit  menjadi  "persekolahan"  yang kemudian  dipersempit  lagi  dengan  "pengajaran".  Selanjutnya  "pengajaran"  dipersempit kembali dengan  "pengajaran di ruang kelas" dan semakin sempit menjadi penyampaian materi kurikulum yang hanya berorientasi pada pencapaian target sempit ujian nasional (UN).  Penyempitan  seperti  ini  hanya  mengarah  pada  aspek  kognitif  dan  intelektual. Sedangkan unsur fundamental yang berakar pada nilai moral dari pendidikan itu sendiri terlupakan.  Akibatnya  pendidikan  hanya  menghasilkan  manusia  yang  skolastik  dan pandai secara intelektual namun kurang memiliki karakter utuh sebagai pribadi.

Pendidikan  yang  dalam  UU  No.  20  Tahun  2003  tentang  SISDIKNAS  bertujuan  untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan  menjadi  warga  negara  yang  demokratis  serta  bertanggung  jawab  (pasal  3).  Hanya dalam kenyatan, justru banyak warga  negara yang tidak berakhlak mulia (sejenis korupsi, penyalahgunaan narkoba, dan kekerasan), kurang mandiri (konsumtif), tidak bertanggung jawab, dan kasus lain yang justru bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional.

Apa yang salah dengan pendidikan  sehingga setelah lebih dari tujuh puluh satu tahun indonesia  merdeka,  pendidikan nasional belum mampu berfungsi menunjang tumbuhnya bangsa  yang  berkarakter?  Selama  masalah  pendidikan  dibiarkan  mengelinding  bebas, sehingga  siapapun  boleh  dan  berhak  mengulas  masalah  pendidikan  dengan  versinya masing-masing tanpa landasan falsafah yang memadai, maka potret pendidikan kita akan semakin carut-marut. Reorientasi  pendidikan  dengan  mendorong  peran  pemerintah  lebih optimal dalam membuat, merumuskan , dan mengevaluasi kurikulum serta  revitalisasi  pendidik  merupakan  langkah  awal  yang harus  ditempuh  untuk  menjadikan  pendidikan  sebagai  motor perbaikan  dan  pembentukan  karakter  bangsa.  
Wacana pendidikan berbasis karakter akhir - akhir ini santer terdengar kembali setelah marak dan meningkatnya kasus kekerasan terhadap anak , penyalahgunaan narkoba , pergaulan bebas dan kenakalan remaja lainnya yang semakin hari semakin aneh . Karakter secara  etimologis berasal  dari  bahasa  Yunani (Greek),  yaitu  charassein  yang berarti  to engrave  (Ryan and Bohlin, 1999:5). Kata “to engrave  bisa diterjemahkan mengukir, melukis, memahatkan, atau menggoreskan (Echols  dan  Shadily,  1995:214).  Dalam  Kamus  Bahasa  Indonesia  kata  “karakter” diartikan dengan tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, dan watak. Karakter juga bisa berarti huruf, angka, ruang, simbul khusus  yang dapat dimunculkan pada layar dengan papan ketik (Pusat Bahasa Depdiknas,  2008:682). Selanjutnya  Aristoteles mendefiniskan  karakter  yang  baik  sebagai  tingkah  laku  yang  benar . Tingkah  laku yang benar dalam hubungannya dengan orang lain dan juga dengan diri sendiri. Di pihak  lain,  karakter,  dalam  pandangan  filosof  kontemporer  seperti  Michael  Novak, adalah  campuran  atau  perpaduan  dari  semua  kebaikan  yang  berasal  dari  tradisi keagamaan,  cerita,  dan  pendapat  orang  bijak,  yang  sampai  kepada  kita  melalui sejarah. Menurut Novak, tak seorang pun yang memiliki semua kebajikan itu, karena setiap  orang  memiliki  kelemahan-kelemahan.  Seseorang  dengan  karakter  terpuji dapat dibedakan dari yang lainnya  (Lickona, 1991: 50).
Pendidikan karakter telah menjadi perhatian berbagai negara dalam rangka mempersiapkan generasi yang berkualitas, bukan hanya untuk kepentingan individu warga negara, tetapi juga untuk warga masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai  the deliberate us of all dimensions of school life to foster optimal character Development (usaha secara sengaja dari seluruh dimensi kehidupan sosial untuk membantu pembentukan karakter secara optimal). Terminologi pendidikan karakter mulai dikenalkan sejak tahun 1900-an. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya, terutama ketika ia menulis buku yang berjudul The Return of Character Education dan kemudian disusul bukunya, Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility.Melalui buku-buku itu, ia menyadarkan dunia Barat akan pentingnya pendidikan karakter. Pendidikan karakter menurut Thomas Lickona mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the good).Pendidikan karakter tidak sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah kepada anak, tetapi lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga peserta didik paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik. Jadi, pendidikan karakter ini membawa misi yang sama dengan pendidikan akhlak atau pendidikan moral. Proses pendidikan karakter, ataupun pendidikan akhlak dan karakter bangsa sudah tentu harus dipandang sebagai usaha sadar dan terencana, bukan usaha yang sifatnya terjadi secara kebetulan. Bahkan kata lain, pendidikan karakter adalah usaha yang sungguh-sungguh untuk memahami, membentuk, memupuk nilai-nilai etika, baik untuk diri sendiri maupun untuk semua warga masyarakat atau warga negara secara keseluruhan. Thomas Lickona menyebutkan tujuh unsur-unsur karakter esensial dan utama yang harus ditanamkan kepada peserta didik yang meliputi:
1. Ketulusan hati atau kejujuran (honesty).
2. Belas kasih (compassion);
3. Kegagahberanian (courage);
4. Kasih sayang (kindness);
5. Kontrol diri (self-control);
6. Kerja sama (cooperation);
7. Kerja keras (deligence or hard work).
Tujuh karater inti (core characters) inilah, menurut Thomas Lickona, yang paling penting dan mendasar untuk dikembangan pada peserta didik, disamping sekian banyak unsur-unsur karakterlainnya. Jika dianalisis dari sudut kepentingan restorasi kehidupan Bangsa Indonesia ketujuh karakter tersebut memang benar-benar menjadi unsur-unsur yang sangat esensial dalam mengembangkan jati diri bangsa melalui pendidikan karakter.
Selain itu, tujuh unsur karakter yang menjadi karakter inti yang terdapat dalam pendiddikan karakter yang telah dikemukakan oleh Thomas Lickona ,  tokoh pendidikan kita (Ki Hadjar Dewantara) terhadap persoalan pendidikan  karakter menjadi sesuatu yang penting untuk ditelaah. Pandangan Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan adalah memperhatikan keseimbangan cipta, rasa,  dan karsa tidak hanya sekedar proses alih ilmu pengetahuan  saja  atau  transfer  of  knowledge,  tetapi  sekaligus  pendidikan  juga  sebagai proses  transformasi nilai (transformation  of value). Dengan kata lain pendidikan adalah proses pembetukan karakter manusia agar menjadi sebenar-benar manusia. Pandangan  Ki  Hadjar  Dewantara  tentang  pendidikan,  menunjukkan  kepada  kita bahwa jauh hari Ki Hadjar Dewantara memiliki komitmen yang tinggi untuk membentuk karakter bangsa melalui pendidikan. Hanya sayangnya pada pekembangannya pendidikan justru kehilangan roh dan semangatnya, sehingga terjebak pada pencapaian target sempit, sehingga perwujudan karakter bangsa yang baik menjadi terabaikan.

Ki Hadjar Dewantara  : Pendidikan Karakter melalui Tri Pusat Pendidikan
Dalam  proses  tumbuh  kembangnya  seorang  anak,  Ki  Hadjar  Dewantara memandang  adanya  tiga  pusat  pendidikan  yang  memiliki  peranan  besar.  Semua  ini disebut  “Tripusat  Pendidikan”.  Tripusat  Pendidikan  mengakui  adanya  pusat-pusat pendidikan  yaitu;  1)  Pendidikan  di  lingkungan  keluarga,  2)  Pendidikan  di  lingkungan  perguruan, dan 3) Pendidikan di lingkungan kemasyarakatan atau alam pemuda.  Tripusat  Pendidikan ini besar pengaruhnya terhadap pembentukan karakter seseorang.Alam  keluarga  adalah  pusat  pendidikan  yang  pertama  dan  terpenting.  Sejak timbul  adab  kemanusiaan  hingga  kini,  hidup  keluarga  selalu  mempengaruhi bertumbuhnya  budi  pekerti  atau  karakter  dari  tiap-tiap  manusia.  Alam  perguruan merupakan  pusat  perguruan  yang  teristimewa  berkewajiban  mengusahakan  kecerdasan pikiran (perkembangan intelektual) beserta pemberian ilmu pengetahuan  (balai-wiyata). Alam kemasyarakatan atau alam pemuda merupakan  kancah pemuda  untuk beraktivitas dan beraktualisasi diri mengembangkan potensi dirinya.
Ki Hadjar Dewantara tidak memandang perguruan  atau  sekolah  sebagai  lembaga  yang  memiliki  orientasi  mutlak  dalam  proses pembentukan karakter anak. Justru dia memandang pendidikan sebagai suatu proses yang melibatkan  unsur-unsur  lain  di  luar  sekolah.  Tiap-tiap  pusat  harus  mengetahui kewajibannya  masing-masing,  atau  kewajibannya  sendiri-sendiri,  dan  mengakui  hak pusat-pusat  lainnya  yaitu;  alam  keluarga  untuk  mendidik  budipekerti  dan  laku  sosial. Alam  sekolah  sebagai balai wiyata  bertugas  mencerdaskan cipta, rasa, dan karsa  secara seimbang.  Sedangkan  alam  pemuda  atau  masyarakat  untuk  melakukan  penguasan  diri dalam pembentukan watak atau karakter.Ketiga lingkungan pendidikan tersebut sangat erat kaitannya satu dengan lainnya,sehingga  tidak  bisa  dipisah-pisahkan,  dan  memerlukan  kerjasama  yang  sebaik-baiknya, untuk  memperoleh  hasil  pendidikan  maksimal  seperti  yang  dicita-citakan.  Hubungan sekolah  (perguruan)  dengan  rumah  anak  didik  sangat  erat,  sehingga  berlangsungnya pendidikan  terhadap  anak  selalu  dapat  diikuti  serta  diamati,  agar  dapat  berjalan  sesuai dengan  tujuan  yang  hendak  dicapai.  Pamong  sebagai  pimpinan  harus  bertindak  tutwuri handayani, ing madya mangun  karsa, dan  ing ngarsa sung tuladha  yaitu; mengikuti dari belakang dan memberi pengaruh, berada di tengah memberi semangat, berada di depan menjadi teladan.
Selain  tripusat  pendidikan  Ki  Hadjar  Dewantara  mengemukakan  ajaran  Trikon atau Teori Trikon. Teori Trikon merupakan usaha pembinaan kebudayaan nasional yang mengandung tiga unsur yaitu kontinuitas, konsentrisitas, dan konvergensi.
a.  Dasar Kontinuitas
Dasar  kontinuitas berarti bahwa budaya, kebudayaan atau garis hidup bangsa itu sifatnya  continue,  bersambung  tak  putus-putus.  Dengan  perkembangan  dan  kemajuan kebudayaan, garis hidup bangsa terus menerima pengaruh nilai-nilai baru, garis kemajuan suatu  bangsa  ditarik  terus.  Bukan  loncatan  terputus-putus  dari  garis  asalnya.  Loncatan putus-putus akan kehilangan pegangan. Kemajuan suatu bangsa ialah lanjutan dari garis hidup  asalnya,  yang  ditarik  terus  dengan  menerima  nilai-nilai  baru  dari  perkembangan sendiri maupun dari luar.  Jadi kontinuitas dapat diartikan bahwa  dalam mengembangkan dan membina karakter bangsa  harus merupakan kelanjutan dari budaya sendiri.
b.  Dasar Konsentris
Dasar  konsentris  berarti  bahwa  dalam  mengembangkan  kebudayaan  harus bersikap terbuka, namun kritis dan selektif terhadap pengaruh kebudayaan di sekitar kita. Hanya  unsur-unsur  yang  dapat  memperkaya  dan  mempertinggi  mutu  kebudayaan  saja yang  dapat  diambil  dan  diterima,  setelah  dicerna  dan  disesuaikan  dengan  kepribadian bangsa.  Hal  ini  merekomendasikan  bahwa  pembentukan  karakter  harus  berakar  pada budaya bangsa, meskipun tidak tertutup kemungkinan untuk mengakomodir budaya luar yang baik dan selaras dengan budaya bangsa.
c.  Dasar Konvergensi
Dasar  konvergensi  mempunyai  arti  bahwa  dalam  membina  karakter  bangsa, bersama-sama  bangsa  lain  diusahakan  terbinanya  karakter  dunia  sebagai  kebudayaan kesatuan  umat  sedunia  (konvergen),  tanpa  mengorbankan  kepribadian  atau  identitas bangsa  masing-masing.  Kekhususan  kebudayaan  bangsa  Indonesia  tidak  harus ditiadakan, demi membangun kebudayaan dunia. Dari pernyataan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam mengembangkan karakter  dan  membina  kebudayaan  bangsa  harus  merupakan  kelanjutan  dari  budaya sendiri (kontinuitas) menuju ke  arah kesatuan kebudayaan dunia (konvergensi), dan tetap terus memiliki  dan membina sifat kepribadian di dalam lingkungan kemanusiaan sedunia (konsentrisitas).  Dengan  demikian  maka  pengaruh  terhadap  kebudayaan  yang  masuk, harus  bersikap  terbuka,  disertai  sikap  selektif  sehingga  tidak  menghilangkan  identitas sendiri .
Asas  dan  dasar  pendidikan  yang  digagas  Ki  Hadjar  Dewantara  merupakan landasan  yang  kokoh  untuk  membangun  karakter  bangsa  bersendi  pada  budaya  bangsa dengan  tidak  mengabaikan  budaya  asing.  Jika  asas  dan  dasar  ini  digunakan  sebagai landasan penyelenggaran pendidikan kita, maka tidak perlu lagi meributkan tentang carut marut potret pendidikan kita. Sistem Pendidikan Dalam  pelaksanaan  pendidikan,  Ki  Hadjar  Dewantara  menggunakan  “Sistem Among” sebagai  perwujudan konsepsi beliau dalam menempatkan anak sebagai sentral proses pendidikan.  Dalam Sistem Among, maka setiap pamong sebagai pemimpin dalam proses  pendidikan  diwajibkan  bersikap:  Ing  ngarsa  sung  tuladha,  Ing  madya  mangun karsa, dan Tutwuri handayani (MLPTS, 1992: 19-20).
a.  Ing Ngarsa Sung Tuladha
Ing ngarsa  berarti di depan, atau orang yang lebih berpengalaman dan atau lebih berpengatahuan.  Sedangkan  tuladha  berarti  memberi  contoh,  memberi  teladan  (Ki Muchammad  Said  Reksohadiprodjo,  1989:  47).  Jadi  ing  ngarsa  sung  tuladha mengandung  makna,  sebagai  among  atau  pendidik  adalah  orang  yang  lebih berpengetahuan dan berpengalaman, hendaknya mampu menjadi contoh yang baik atau
dapat dijadikan sebagai “central figure” bagi siswa.
b.  Ing Madya Mangun Karsa
Mangun  karsa  berarti  membina  kehendak,  kemauan  dan  hasrat  untuk mengabdikan diri kepada kepentingan umum, kepada cita-cita yang luhur. Sedangkan ing madya  berarti di tengah-tengah, yang berarti dalam pergaulan dan hubungannya seharihari  secara  harmonis  dan  terbuka.  Jadi  ing  madya  mangun  karsa  mengandung  makna bahwa  pamong  atau  pendidik  sebagai  pemimpin  hendaknya  mampu menumbuhkembangkan  minat,  hasrat  dan  kemauan  anak  didik  untuk  dapat  kreatif  dan berkarya, guna mengabdikan diri kepada cita-cita yang luhur dan ideal.
c.  Tutwuri Handayani
Tutwuri  berarti  mengikuti  dari  belakang  dengan  penuh  perhatian  dan  penuh tanggung jawab berdasarkan cinta dan kasih sayang yang bebas dari pamrih dan jauh dari sifat  authoritative,  possessive,  protective  dan  permissive  yang  sewenang-wenang. Sedangkan  handayani  berarti  memberi  kebebasan,  kesempatan  dengan  perhatian  dan bimbingan yang memungkinkan anak didik atas inisiatif sendiri dan pengalaman sendiri, supaya mereka berkembang menurut garis kodrat pribadinya.Sistem  pendidikan  yang  dikemukakan  Ki  Hadjar  Dewantara  juga  merupakan warisan  luhur  yang  patut  diimplementasikan  dalam  perwujudan  masyarakat  yang berkarakter.  Jika  para  pendidik  sadar  bahwa  keteladanan  adalah  upaya  nyata  dalam membentuk anak bangsa yang berkarakter, semua kita tentu  akan terus mengedepankan keteladanan dalam segala perkataan dan perbuatan.  Sebab dengan keteladanan itu maka karakter  religius,  jujur,  toleran,  disiplin,  kerja  keras,  cinta  damai,  peduli  sosial,  dan karakter lain tentu akan berkembang dengan baik.
Begitu  pula  jika  kita  sadar  bahwa  berkembangnya  karakter  peserta  didik memerlukan  dorongan  dan  arahan  pendidik,  sebagai  pendidik  tentu  kita  akan  terus berupaya  menjadi  motivator  yang  baik.  Sebab  dengan  dorongan  dan  arahan  pendidik maka  karakter  kreatif,  mandiri,  menghargi  prestasi,  dan  pemberani  peserta  didik  akan terbentuk dengan baik. Sementara  itu,  ada  kalanya  pendidik  perlu  memberikan  keleluasaan  dan  atau kebebasan  kepada  peserta  didik  untuk  menentukan  pilihannya  sendiri.  Hal  demikian dimungkinkan dapat mengembangkan karakter demokratis dan bertangung jawab.
Sungguh beruntung Indonesia memiliki tokoh pendidikan seperti Ki Hadjar Dewantara yang menegaskan bahwa tugas lembaga pendidikan tidak sesederhana membuat orang menjadi pintar dan berpengetahuan , tetapi harus menuntun tumbuhnya budi pekerti dalam kehidupannya agar kelak menjadi manusia yang   memiliki kepribadian , beradab, dan bersusila. Dalam salah satu pidatonya pada tahun 1949, Ki Hajar menyatakan, “pendidikan dan pengajaran adalah usaha kebudayaan semata-mata, bahwa perguran itu adalah taman persemaian benih-benih kebudayaan bagi suatu bangsa”. Sehingga di sini penjiwaan kebudayaan dalam bentuk wawasan kebangsaan dan penanaman budi pekerti adalah hal yang harus menjadi prioritas dalam proses pendidikan di Indonesia.Dalam tugas luhurnya, sangat jelas bahwa pendidikan seharusnya bersandarkan pada modal sosial yang sangat berpotensi ditumbuhkan di masyarakat Indonesia. Kekentalan budaya dan nilai-nilai luhur gotong royong yang masih melekat dalam jiwa bangsa Indonesia menjadikan modal sosial dapat menjadi senjata utama pengembangan sumberdaya selain modal individu maupun modal materi. Pendidikan yang ideal memang seharusnya mempertimbangkan perspektif sosial dalam menjalankan pengembangan manusia yang baik. Bahkan pendidikan pun sebenarnya tidak secara sempit dipandang dalam bentuk pendidikan formal melalui sekolah. Maka atas dasar itulah seharusnya Pemerintah kembali membuka catatan sejarah dan kembali menggunakan falsafah pendidikan kita sebagaimana telah dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara.

Reorientasi Pendidikan Mengkaji Ulang Kurikulum
Reorientasi  pendidikan  perlu  segera  dilakukan  yaitu  dengan  melakukan tinjauan  atas  pelaksanan  pendidikan  dan  pembelajaran  selama  ini,  pendidikan  kita berjalan  apa  adanya  dengan  output  seadanya.  Sehinga  dalam  pembelajaran  tidak terjadi  internalisaisi  ilmu  dalam  kehidupan  sehari-hari.  Terjadinya  parsialisasi  ilmu pengetahuan  telah  mengakibatkan  pendidikan  kurang  bermakna,  banyak  energi  dan waktu  yang  tebuang  percuma  tapi  kebermanfaatan  dan  kebermaknaan  ilmu  yang diajarkan  tidak  memberikan  dampak  yang  berarti.  Terjadinya  pemisahan  apa  yang diajarkan  di  sekolah  dengan  realita  kehidupan  membuat  pendidikan  kita  tidak memiliki karakter dan terkesan paradoks.Untuk  itu  paradigma  pendidikan  tepadu perlu  digalakkan  yaitu  dengan memadukan antara teori dan praktek, antara teks dan konteks, selama ini pendidikan kita  berlangsung  dikotomi  antara  teks  dan  konteks,  antara  teori  dan  praktek. Pemisahan  ini  menyebabkan  pemahaman  menjadi  parsial  dan  tepisah-pisah  dan pelajaran hanya di pahami sebatas formalitas saja. Sehingga tidak ada pengaruh yang berarti ketika orang belajar tentang budi pekerti atau belajar tentang pancasila. Karena nilai yang diajarkan  hanya sebatas normatif saja.
Pengkajian ulang kurikulum agar capaian tujuaan pendidikan dapat terwujud perlu dilakukan ,kurikulum sendiri berarti perangkat mata pelajaran dan program pendidikan yang diberikan suatu lembaga penyelenggara pendidikan yang berisi rancangan pelajaran yang akan diberikan kepada peserta didik dalam satu periode jenjang pendidikan . Penyusunan perangkat mata pelajaran disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan setiap jenjang pendidikan tersebut. Salah satu fungsi kurikulum ialah sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan , kurikulum memiliki komponen pokok dan komponen penunjang yang saling berkaitan dan berinteraksi satu sama lainnya dalam rangka mencapai tujuan tersebut . Menurut Subandiyah (1993: 4-6) mengemukakan ada 5 komponen kurikulum yaitu :
1.      Komponen tujuan
2.      Komponen materi/isi
3.      Komponen media ( sarana  dan prasarana )
4.      Komponen strategi
5.      Komponen proses belajar mengajar
Perkembangan kurikulum Indonesia hingga saat ini yang berlaku adalah kurikulum 2013 yang sayangnya dalam pengimplementasiannya masih sangat jauh dari apa yang diharapkan , setiap kali terjadi perubahan kurikulum pada hakikatnya menuju ke arah yang lebih baik tetapi karena kurangnya persiapan  implementasinya masih sangat jauh dari tujuan awal yang telah ditetapkan dalam undang – undang sistem pendidikan nasional bab II pasal 3 . Teringat  kata Rendra , dalam ‘sajak sebatang lisong’ “ Apakah aritinya berfikir , bila terpisah dari masalah kehidupan’ . Sajak dari Renda tersebut cukup mewakili pertanyaan saya mengenai implementasi kurikulum yang diterapkan di Indonesia , bagaimana tidak pendidikan yang seharusnya proses dalam memaknai kehidupan dan pemecahan masalah dalam kehidupan menjadi sesederhana membuat orang menjadi pintar dan berpengetahuan saja .
Sejatinya Pendidikan dibangun atas kesadaran dan pencarian kebenaran ilmu pengetahuan .Pendidikan  sudah  harus  mengajarkan  epistimologi  ilmu  tentang  pelajaran yang diajarkan kepada siswa. 
Berkaca pada Kihajar Dewantara , sejatinya pendidikan mampu menumbuh kembangkan  karakter dalam hidup Sang Anak (anak didik) supaya mereka kelak menjadi manusia berpribadi yang beradab dan susila.Kecerdasan memang diperlukan segenap anak didik, tetapi karakter lebih diperlukan. Kecerdasan tanpa diimbangi karakter justru akan menjerumuskan kehidupan anak didik itu sendiri.Dalam konteks pengembangan kurikulum, maka substansi pendidikan karakter bersifat mutlak. Permasalahannya, apakah pendidikan karakter harus menjadi mata pelajaran? Dalam hal ini Ki Hadjar bersikap bijak dengan menyatakan pendidikan karakter itu wajib diberikan kepada anak meskipun tidak harus menjadi mata pelajaran tersendiri. Ini berarti pendidikan karakter bisa menjadi mata pelajaran tersendiri, tetapi bisa juga terintegrasi pada mata pelajaran lain.
Bagaimana cara menyampaikan pendidikan karakter? Menurut Ki Hadjar ada empat tingkatan, yakni syari’at, hakikat, tarikat, dan makrifat.Tingkat syari’at cocok diberikan kepada anak yang sangat muda, dalam hal ini anak TK. Metodenya dengan membiasakan berperilaku baik menurut ukuran umum, misalnya mengucapkan salam ketika bertemu teman, memberikan hormat ketika bertemu guru, dan mencium tangan ketika berhadapan dengan orangtua.Tingkat hakikat cocok diberikan kepada murid SD. Anak dibiasakan berperilaku baik menurut ukuran umum, dalam waktu bersamaan diberi pengertian mengapa harus berbuat demikian.Contohnya, di samping dibiasakan mengucapkan salam sewaktu bertemu teman, mereka juga diberi pengertian tentang pentingnya mengucap salam itu; misalnya dapat menimbulkan ikatan hati dan keakraban lahir-batin antarteman.Tingkat tarikat cocok diberikan kepada siswa SMP. Siswa dibiasakan berperilaku baik, diberi pengertian pentingnya hal itu dilakukan; bersamaan waktunya disertai aktivitas pendukung yang cocok.Misalnya bagaimana anak-anak tersebut berkesenian, berolah puisi, berolahraga, dan bersastraria sambil berolah budi. Contohnya adalah anak-anak SMP dilatih menari ”halus” sambil dijelaskan makna gerakan yang ada di dalamnya untuk menanamkan karakter. Tingkat makrifat cocok diberikan kepada siswa SMA. Anak disentuh pemahaman dan kesadarannya sehingga berperilaku baik bukan sekadar kebiasaan, melainkan berkesadaran di lubuk hatinya untuk melakukan hal tersebut. Sang anak mengerti maksud berperilaku baik; dan perilakunya tersebut dijalankan berdasarkan kesadaran diri.
Pendidikan  sudah  harus  mengajarkan  epistimologi  ilmu  tentang  pelajaran yang diajarkan kepada siswa .Krisis kebenaran ilmu dan disfungsi ilmu tidak terjadai, orang harusnya tahu kenapa di harus belajar pancasila dan cara penerapannya, kenapa harus  belajar  biologi  dan  implementasinya.  Pendidikan  harus  menjadi  proses konsientisasi  (penyadaran)  dan  sebagai  praktek  pemerdekaan.  Dalam  proses konsientasi  pendidikan  tidak  saja  diarahkan  pada  realitas  obyektif  dan  aktual,  akan tetapi juga pada proses penyadaran akan dirinya sebagai manusia yang memiliki jati diri/  karakter.  Pendidikan  yang  tidak  diarahkan  pada  dua  kesadaran  ini,  sebenarnya telah menempatkan pendidikan sebagai proses penindasan dan praktek pemerkosaan terhadap  hak-hak  hidup  yang  manusiawi.  Dan  akibat  lebih  lanjut  pendidikan  akan membawa peserta didik hanya untuk hidup dan tidak membawa kepada the process of being/ becoming.
Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh sumber daya manusia yang dihasilkan dari sebuah proses pendidikan dan pembelajaran bermutu yang diselenggarakan oleh guru profesional dan bermartabat . Guru tidak hanya berperan sebagai pengajar semata, akan tetapi guru harusnya menjadi seoarng pendidik yang memastikan nilai dan norma ada pada setiap peserta didik .
Guru yang merupakan produk dari sebuah lembaga pendidikan guru atau Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK)  yang saat ini berjumlah 419 LPTK dengan rincian 39 LPTK negeri ,dan 380 LPTK swasta .
Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen pasal 1 ayat 1 yang dimaksud dengan guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar,dan pendidikan menengah.
Dari definisi tersebut diketahui bahwa guru merupakan suatu profesi sama halnya seperti dokter , maka guru harus profesional dalam menjalankan profesinya . Profesionalisme dalam profesi guru sesuai dengan UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 1 ayat 4 yaitu Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Akan tetapi profesi guru di Indonesia masih dipandang sebagai profesi suka rela , artinya banyak dari mereka yang memilih menjadi guru merupakan pilihan kedua setelah pilihan pertamanya tidak diraih , setengah hati menjadi seorang guru mengakibatkan kurangnya profesionalisme guru tersebut , selain itu kurangnya perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan guru menjadikan guru mengajar / mendidik seikhlasnya , seharusnya pemerintah menganggap sama tingginya derajat seorang guru dengan seorang dokter , apabila guru terjamin kesejahteraannya dapat dipastikan akan mendorong tingkat profesionalisme guru tersebut , sehingga guru merasa mempunyai tanggung jawab yang tinggi dalam menjalankan tugasnya sebagai tenaga pendidik sehingga dapat mencapai tujuan nasional menghasilkan peserta didik yang tidak hanya cerdas dan berpengetahuan tetapi juga memiliki karakter yang baik .
Selain revitalisasi pendidik setelah pendidik tersebut menjadi seorang profesional atau guru , harus ditinjau kembali mengenai peran strategi pendidikan guru , yakni sebagai lembaga pendidikan prajabatan menghasilan guru yang berkualitas ( kualifikasi , kompetensi , berkarakter kuat dan berjiwa pendidik) . Namun pada kenyataannya kehadiran lebih dari 400 LPTK di Indonesia belum mampu menyelesaikan permasalahan guru yang kompleks , perbaikan disana sini perlu dilakukan , baik itu ketika masih menjadi calon guru hingga sudah ditetapkannya menjadi seorang guru , banyak guru – guru kita yang belum memenuhi standar kualifikasi seperti kurang menguasai konten yang mengakibatkan tidak profesional , gagal menjadi fasilitator dalam transfer ilmu dan menerapkan karakter pada peserta didik . Dari hulu hingga hilir banyak yang harus dibenahi untuk menjadikan guru Indonesia profesional , melalui perbaikan seleksi calon mahasiswa kependidikan dan pendidikan profesi guru dengan mengadakan tes bakat , tes watak dan kepribadian ,secara terus menerus memperbaiki pendidikan di PPG terutama proses pembinaan.  Diharapkan LPTK dapat menghasilkan guru yang profesional dan berkompeten sesuai dengan pasal 7 dalam UU No.14 tentang Guru dan Dosen , yaitu  Profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut:
a.  memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme;
b.  memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia;
c.  memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas;
d.  memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai denganbidang tugas;
e.  memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan;
f.  memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja;
g.  memiliki kesempatan untuk mengembangkan  keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat;
h.  memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan
i.  memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.
Apabila guru ataupun tenaga kependidikan telah memenuhi kualifikasi sebagai profesi yang profesional dan berkompeten , maka dapat dipastikan bahwa tujuan  pendidikan nasional dapat dicapai ,  perlu adanya sinergisitas antara pemerintah selaku pemangku kebijakan dengan semua elemen yang berkaitan dengan pendidikan yaitu guru atau tenaga pendidik , dan masyarakat dalam menciptakan iklim yang kondusif demi tercapainya tujuan pendidikan nasional .   
Tujuan pendidikan   nasional   yang   terungkap   dalam   Undang-Undang   No   20   tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab II pasal 3 sebagai berikut :"Pendidikan  nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak  serta  peradaban  bangsa  yang  bermartabat  dalam  rangka  mencerdaskan kehidupan  bangsa  bertujuan untuk berkembangnya  potensi  peserta  didik  agar menjadi manusia  yang beriman dan bertakwa  kepada  Tuhan Yang Maha  Esa,berakhlak  mulia,  sehat,  berilmu,  cakap,  kreatif,  mandiri  dan  menjadi  warga negara  yang demokratis serta bertanggung jawab.
 Ilmu yang diajarkan hanya sebatas teori tanpa aplikasi hanyalah pengetahuaan yang sebatas mimpi. Pelajaran yang dipahamai sebatas teks hanyalah sebua euforia. , pendidikan  pada  hakekatnya memiliki  dua  tujuan,  yaitu  membantu  manusia  untuk  menjadi  cerdas  dan  pintar (smart),  dan  membantu  mereka  menjadi  manusia  yang  baik  (good).  Menjadikan manusia  cerdas  dan  pintar,  boleh  jadi  mudah  melakukannya,  tetapi  menjadikan  manusia  agar  menjadi  orang  yang  baik  dan  bijak,  tampaknya  jauh  lebih  sulit atau bahkan  sangat  sulit.
Pembangunan karakter  bangsa  memang  harus  dimulai  dari  membangun  individu  masyarakat Indonesia  secara  berkesinambungan  dan  terus-menerus,  membangun  karakter  tidak bisa  dilakukan  secara  cepat  dan  instan.  Pendidikan  menjadi  motor  dalam  upaya perbaikan dan pembentukan mental karakter bangsa yang sesungguhnya, Menelaah konsep dan penerapan kembali pendidikan karakter dalam pendidikan Indonesia , reorientasi pendidikan mendorong  peran  pemerintah  lebih optimal dalam membuat, merumuskan , dan mengevaluasi kurikulum serta  revitalisasi  pendidik  merupakan  langkah  awal  yang harus  ditempuh  untuk  menjadikan  pendidikan  sebagai  motor perbaikan  dan  pembentukan  karakter  bangsa.  Jika itu dapat dilaksanakan pendidikan akan mampu membangun karakter kebangsaan.

Selamat hari Guru Nasional , Semoga Guru Indonesia semakin profesional dan sejahtera , bila belum biar Allah yang membalas pahala dari bapak dan ibu guru 😊 

Mengenai gerakan "ayo menghormati guru" saya sangat setuju sekali ini sebuah bentuk kita kembali pada karakter kita , karakter bangsa kita
 --Presiden Joko Widodo--
Peringatan Hari Guru Nasional Hendaknya menjadi momentum membulatkan tekad kita bersama meningkatkan penghargaan kepada pahlawan tanpa tanda jasa ini untuk secepatnya menyelesaikan pendidikan kita yang masih belum selesai ini 
--Wardiman Djojonegoro Mendikbud tahun 1993-1998 --
Orang yang paling saya hormati setelah ibu dan ayah adalah guru , karena guru maka saya menjadi orang yang berguna bagi masyarakat dan orang lain 
--Yahya A.Muhaimin Mendiknas 1999-2001--
Ini hanya catatan kecil tentang euporia hari guru nasional yang diperingati setiap tanggal 25 November  yang biasanya dipagi hari buta para guru PNS dan Honorer merayakan dengan suka cita dibawah tiang bendera sambil mengangkatkan tangan dengan bangga hormat pada sangsaka merah putih , sambil mengenang perjuangan mereka selama bertahun - tahun , bahkan berpuluh - puluh tahun mengabdikan diri kepada ibu pertiwi dengan cara yang sangat mulia , mencerdaskan kehidupan bangsa . Teringat kata - kata bijak dari Anies Baswedan bahwa "Mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik " , sebagai orang terdidik yang mempunyai kesempatan yang lebih untuk menuntut ilmu hingga jenjang yang lebih tinggi , seharusnya tidak menutup mata dengan problematika klasik ini , mari mengambil posisi turut aksi dalam memajukan pendidikan Republik Indonesia tercinta ini , bukankah Allah telah memerintahkan kepada kita , sampaikanlah walau satu ayat , ya sedikit banyak ilmu yang dimiliki bila diamalkan akan terasa manfatnya , tidak hanya bagi orang lain , bagi diri sendiri pun banyak kebaikan yang akan kita dapatkan , tak hanya kebaikan di dunia akan tetapi ilmu yang bermanfaat akan menjadi tabungan pahala kita hingga akhirat , Allah meninggikan beberapa derajat bagi orang yang beriman dan memiliki ilmu dari pada manusia yang lainnya . 
Tulisan ini bukan murni lahir dari pemikiran sendiri , apalah daya saya yang masih ummi ini , banyak kutip tulisan orang lain disana-sini , copy paste dan edit modifikasi sana sini , mungkin baru itu yang bisa saya lakukan dalam proses menulis ini , mungkin ini akibat dari malasnya diri untuk mengkaji , membaca dan mentadaburi sebuah buku . Biarlah saya melewati fase memalukan ini , yang terpenting saya mau belajar , memulai kebiasaan baru , yaitu menulis , karena menurut Gumira Ajidarma menulis adalah suatu cara untuk berbicara , suatu cara untuk berkata , suatu cara untuk menyapa , suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah dimana.
Referensi
Asshiddiqie Jimly.2011 . Hijrah Menuju Kebangunan Watak Bangsa , Medan : Ikatan Cendekiawan Muslim SeIndonesia (ICMI).
Darmiyati  Zuchdi  (ed.).  2011.  Pendidikan  Karakter  dalam  Perspektif  Teori  dan Praktik. Yogyakarta: UNY Press.
Haryanto.2011 . Pendidikan Karakter Menurut Ki Hadjar Dewantara, Yogyakarta : Kurikulum dan Teknologi Pendidikan FIP UNY.
Kompas,  Penghentian Kurikulum Tak Boleh Bertahap ,  Minggu 7 Desember 2014.
Kompas,  Kurikulum Versi Ki Hadjar ,  Senin 5 Januari 2015.
Lickona,  Thomas.  1991.  Educating  for  Character:  How  Our  School  Can  Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books.2004.
Marzuki.  2009.  Prinsip  Dasar  Akhlak  Mulia:  Pengantar  Studi  Konsep-Konsep  Dasar Etika dalam Islam. Yogyakarta: Debut Wahana Press-FISE UNY.
Sudrajat Ajat .  2011 . Mengapa Pendidikan Karakter ? , Yogyakarta :  FIS UNY.
Setiawan Deny.2010.Peran Pendidikan Karakter Dalam Mengembangkan Kecerdasan Moral. Medan : FIS Universitas Negeri Medan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen.
Zubaedi.  2011.  Desain  Pendidikan  Karakter Konsepsi  dan  Aplikasinya  dalam  Lembaga Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Atika Almira .2015.  #Bicara Pendidikan : Karakter Anak Bangsa Gagal Dibentuk . http:// Facebook.com/Note/Atika Almira.Bicara-Pendidikan-Karakter-Anak-Bangsa-Gagal-di-Bentuk. Diunduh 21 April 2016.
Katresna72,  “Grand  Design  Pendidikan Karakter”  dalam  Katresna72.  Wordpress.com, Dipublikasikan 23 Oktober 2010,  http://katresna  72.wordpress.-com/2010/10/23  rand-design-pendidikan-karakter/.
Helena  Asri  Sinawang.  2008.  Guru  dan  Watak  Bangsa,  dari http://www.keyanaku.blogspot.com. Diunduh 21 April 2016.
Aditya. Penindasan Pendidikan 3 . Facebook.com . Dipublikasikan 2 Mei 2016.https://www.facebook.com/notes/aditya-finiarel-phoenix/penindasan-pendidikan-3/10153955009961355n

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.